Sebuah Catatan Sehari Setelah Pembagian Rapor Kenaikan Kelas 3 Ula B 2020–2021.
Nyawa dari ucapan adalah pengalaman-pengalaman. ¬Sebanyak apapun kalimat yang kita dengar-katakan, nampaknya tidak akan benar-benar bisa nancap kalau belum kita lakukan atau kita lihat sendirian. Seperti saat pembagian rapor tahun ini, kelas 3 Ula B 2020–2021. “Mbagi rapot tahun iki, Rek, tak akoni sing paling abot, mengharukan, sekaligus banyak pelajarane”. Begitu kataku pada sembilan santri yang (dalam data dari madrasah) dinyatakan naik. Sembilan dari dua puluh enam. Hehe. Sisanya, rata-rata nilai mereka diatas KKM tapi tercekal hafalan dan taftisul kutub meski sudah mengikuti prosedur. Hehe
Sejak kelas 2 Ula, mereka sering ketilap mudarrisnya karena suatu hal yang memang penting. Apalagi yang beliau ampu adalah nahwu-shorof. Bahkan sama ketika mereka di kelas 3 Ula kemarin. Bagiku, itu bukan halangan untuk mereka bisa tetap belajar. Toh semua perkara tentu ada solusinya asal kita tetap woles dan dinamis. Hehe.
Tapi catatan manis ini membuatku merasa o’on (meski sebenarnya memang o’on) sesaat setelah tahu kabar itu. Hehe. Dan aku insyaAllah mengerti betul bagaimana mereka berjuang setahun ini. Suara serak mereka saat setoran hafalan, muka bingung dan pandangan mata yang kabur ketika ada beberapa lafadz yang mereka lupa, atau cengar-cengir mereka kala sudah selesai setor. Masih lekat. Dan barangkali aroma darah bekas langkah kaki optimism mereka masih segar. Sengak-sengak hore gitu. Hehe
Maka sebagai bentuk respect, rapor kelas ku bagikan paling akhir setelah kami foto bersama. Kalau tidak begitu, khawatir nanti rekan-rekan yang dinyatakan belum bisa naik rautnya masam saat foto. Atau malah tidak berkenan ikut foto. Hehe. Tentu aku tidak enak hati. Pokoknya harus ikut foto semua. Akhirnya aku bersama Pak Chis (mudarris kedua semester genap setelah sebelumnya adalah Pak Obi) sepakat kalau rapor dibagikan nanti, setelah foto bersama. Pokoknya bagaimana biar mereka tetep tenang. Tidak mak deg.
Begitupun setelah foto bersama. Kami bicarakan kabar itu pelan-pelan, sambil bertanya apa kekurangan mereka satu persatu. Sekalian biar mereka ikut mikir, introspeksi. Meski awalnya agak semu, tapi aku menemukan keikhlasan sebab kesadaran di kedalaman mata mereka. Hehe.
Singkatnya, aku ndak bisa tidur nyenyak sebab hal ini. Malam itu juga, aku bersama Pak Chis (sebenarnya aku kurang sopan sebab mengganggu waktu dan ngeyelan) menghadap kepala bagian program kitab untuk menjelaskan apa yang bisa kujelaskan tentang rekan-rekan belajarku itu. “Ngapunten Pak nggeh. Hehe. Kulo berhak menyampaikan, dan njenengan juga berhak memutuskan. Ngoten kan nggeh? Hehe”. Begitu kataku agak sungkan pada beliau yang ternyata dibalasnya dengan gelak tawa.
Sampai kemudian mereka di panggil untuk sesuatu dan alhamdulillah sebagian dari mereka bisa naik dan menyisakan dua rekan yang memang dari awal sudah bilang padaku kalau tidak ingin naik dan dua lagi masih tercekal babibu yang sudah mentok alasanku untuk memintakan tiket naik untuk keduanya.
Begitulah, rekan-rekan pilihan yang masih dan harus bertahan. Dan aku yakin mereka semua luar biasa.
“Intinya, ndak ada perjuangan yang sia-sia selagi kita mau angen-angen. Doaku, yang terbaik untuk kalian, Rek. Juga untuk rekan-rekan kalian yang kemarin memutuskan untuk pulang duluan. Doa terbaik untuk kalian semua”.
Jombang, 04 Juli 2021.